3 resultados para SERTA
em ANIMAL PRODUCTION JOURNAL
Resumo:
Abstract. The aim of the study was to know the genetic characteristic and polymorphysm of Indonesian local ducks including Magelang, Tegal, Mojosari, Bali and Alabio duck based on Single Nucleotide Polymorphism (SNP) analysis in D-loop region mtDNA. The long term aim was to set the spesific genetic marker based on SNP D-loop region mtDNA which could differentiate local ducks in Indonesia. In the future, it could be used as selection tool for local duck conservation, and refinement strategy as well as the improvement of genetic quality by utilizing the available native duck germplasm. There were 20 ducks for each duck population and were taken 3 ml of its blood as sample. DNA Isolation Kit high pure PCR template preparation (Geneaid) was uded for Genome DNA isolation. Amplification with PCR technique used primer DL-AnasPF (L56) as forward and DL-AnasPR (H773) as reverse. Next, PCR product or amplicon were sequenced. Sequence result were analyzed with SNP technique and observed the similarity and difference of its nucleotide sequence between individual and population. The result of the study showed that genome DNA from local duck in Indonesia was successfully isolated. DNA fragment of 718 bp was amplified with primer pair of DL-AnasPF and DL-AnasPR. Nucleotide sequence was 469 nt and analyzed with SNP technique. It was compared with standard nucleotide sequence of Anas platyrhynchos (HM010684.1) in Gen Bank. The result of nucleotide sequence similarity percentage was 99.68±0.56%. Single Nucleotide Polymorphism D-loop region mtDNA Indonesian local duck was 0.32±0.56%.  Some SNP was found in Magelang duck C (Klawu blorok), F (Cemani black), G (Gambiran), H (Jarakan kalung), I (Jowo plain) and K (Plain white) also Tegal duck 8, 1, 2, 5, 2, 8 and 2 SNP respectively. It could be concluded that polymorphic genetic characteristic similarity were existed in Indonesia local duck populations which was shown by its big standard deviation SNP in D-loop region mtDNA. Magelang duck with different feather color relatively more polymorphic to another local duck in Indonesia. Single Nucleotide Polymorphism which was achieved could be used as genetic marker that differentiate genetic characteristic of Indonesian local ducks.Key words: genetic characteristic, local duck, Single Nucleotide Polymorphism (SNP), D-loop mtDNAAbstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik genetik dan polimorfisme itik lokal Indonesia yaitu itik Magelang, Tegal, Mojosari, Bali dan Alabio berdasarkan analisis Single Nucleotide Polymorphism (SNP) daerah D-loop mtDNA. Tujuan jangka panjangnya adalah menetapkan marker atau penanda genetik berdasarkan SNP daerah D-loop mtDNA spesifik yang dapat membedakan itik-itik lokal yang ada di Indonesia. Selanjutnya digunakan sebagai alat bantu seleksi untuk konservasi, pembibitan dan pengembangbiakan itik lokal. Populasi masing-masing jenis itik lokal yang digunakan sebanyak 20 ekor untuk diambil 3 ml sampel darahnya. Isolasi DNA genom menggunakan DNA Isolation Kithigh pure PCR template preparation (Geneaid). Amplifikasi dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer DL-AnasPF (L56) sebagai forward dan DL-AnasPR (H773) sebagai reverse. Produk PCR atau amplikon yang diperoleh disekuensing. Hasil sekuensing dianalisis dengan teknik SNP dan diamati kesamaan dan perbedaan urutan nukleotida antar individu itik dan antar populasi.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa DNA genom dari itik lokal di Indonesia berhasil diisolasi. Amplifikasi dengan teknik PCR berhasil memperoleh fragmen berukuran 718 bp. Urutan nukleotida hasil sekuensing sebesar 469 nt dianalisis dengan teknik SNP dan dibandingkan dengan urutan nukleotida standar dari itik Anas platyrhynchos (HM010684.1) yang ada di Gen Bank, diperoleh persentase kesamaan urutan nukleotid sebesar 99,68±0,56%. Single Nucleotide Polymorphism daerah D-loop mtDNA pada itik lokal di Indonesia sebesar 0,32±0,56%. Sejumlah SNP ditemukan pada itik Magelang C (Klawu blorok), F (Hitam cemani), G (Gambiran), H (Jarakan kalung), I (Jowo polos) dan K (Putih polos) serta itik Tegal masing-masing 8, 1, 2, 5, 2, 8 serta 2 SNP. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat karakteristik genetik yang polimorfik pada populasi itik lokal di Indonesia, ditunjukkan dengan adanya simpang baku SNP pada daerah D-loop mtDNA yang relatif besar. Itik Magelang dengan warna bulu yang berbeda relatif lebih polimorfik dibandingkan dengan itik lokal lainnya di Indonesia. Single Nucleotide Polymorphism yang diperoleh dapat digunakan sebagai penanda genetik yang dapat membedakan karakteristik genetik yang dimiliki oleh itik lokal di Indonesia.Kata kunci: karakteristik genetik, itik lokal, Single NucleotidePolymorphism (SNP), D-loop mtDNA
Resumo:
Penelitian dengan judul “Pengaruh Pembatasan Pakan dan Exercise terhadap Pertumbuhan Domba Merino†dilakukan untuk mempelajari perubahan bobot badan dan komposisi tubuh selama periode pembatasan pakan dan kerja (exercise) yang kemudian diikuti oleh pemberian pakan secara adlibitum dan berhenti bekerja.penelitian ini terdiri dari dua periode.Pada periode pertama, 1,5 ekor Domba Merino kastrasi umur 4-5 bulan dibagi menjadi tiga perlakuan ,yaitu pembatasan pakan dan exercise selama 2,50 jam (perlakuan I), pembatasan pakan tanpa Exercise (perlakuan II), serta pemberian pakan secara ad libitum tanpa Exercise (perlakuan III), yang masing-masing perlakuan diulang lima kali. Pada periode kedua ,semua domba diberi pakan ad libitum tanpa exercise. Hasil penelitian menunjukankan bahwa pada akhir penelitian periode pertama ,domba dalam perlakuan satu I dan perlakuan II mengalami penurunan bobot badan sebesar 28 dan 27 persen dari bobot badan awal. Selama periode kedua, domba dalam perlakuan I dan perlakuan II tumbuh lebih cepat dari pada domba perlakuan III. Pada akhir periode pertama, domba dalam perlakuan I kehilangan lemak lebih banyak dari pada perlakuan II.Selama periode ke dua ,penimbunan protein pada perlakuan I dan II lebih cepat dibanding perlakuan III. Domba pada perlakuan III mengalami penimbunan lemak lebih banyak dari pada perlakuan I dan II. Domba pada perlakuan I dan II selama periode ke dua mempunyai kemampuan makan lebih tinggi per kilogram bobot badan metabolis dibanding domba pada perlakuan III. (Animal Production 2(1): 18-24 (2000)Kata kunci: pembatasan pakan , komposisi tubuh , kemampuan makan, pertumbuhan.
Resumo:
Abstract. The objective of this research was to evaluate the hydrolyzed chicken feather based on pepsin digestibility and nutrient content, after physico-chemical and biological process. It was carried out by experimental methods at feed and nutrition laboratory. The treatments were hydrolyzed feather meals immersed in 0.5% NaOH and Na2S solution for 0, 2, 4, 6 and 8 hours, each treatment was repeated three times. The results showed that chemical treatment (NaOH-Na2S) in various time of incubation at 60oC followed by fermentation using Bacillus sp. MTS at 37oC for four days decreased the protein of hydrolyzed feather (78.88 to 73.06%), but increased the keratin fiber (1.9 to 3.26%). Pepsin digestibility informed that the increasing incubation time from 0, 2, 4, 6 to 8 hours resulted in higher solubility than that of control (30.2% at 8 hours vs 15.4% at 0 hours). Processing chicken feather by  0.5% NaOH and Na2S solution at 60oC for 6 hours followed by fermentation increased the value of pepsin digestibility.  Key words: hydrolyzed, Bacillus sp. MTS, feather, solubility Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kualitas nutrien tepung bulu ayam hasil proses hidrolisis secara fisiko-kimia dan biologis menggunakan Bacillus sp. MTS. Metode eksperimental digunakan dalam penelitian yang menggunakan dua tahap proses hidrolisis yaitu tahap 1: setelah perebusan bulu dalam larutan NaOH maka bulu direndam dalam larutan 0.5% NaOH dan Na2S pada 600C dan tahap 2: fermentasi bulu selama empat hari pada suhu 370C. Perlakuan berupa waktu inkubasi yaitu 0, 2, 4, 6 dan 8 jam diterapkan pada tahap kedua dengan ulangan sebanyak tiga kali. Perlakuan fisiko-kimia yang dilanjutkan fermentasi menggunakan bakteri spesifik penghasil enzim-enzim pendegradasi keratin bulu menurunkan kadar protein tepung bulu  (78,88% menjadi 73,06%) dan meningkatkan kadar serat tepung bulu (1,9 menjadi 3,26%). Uji kelarutan protein tepung bulu dalam pepsin menginfromasikan bahwa proses tahap 1 menghasilkan nilai kelarutan protein tepung bulu yang meningkat dua kali dibanding kontrol (30,2% pada 8 jam vs 15,4% pada 0 jam inkubasi) atau enam kali dibanding tepung bulu tanpa hidrolisis (5%). Pengolahan bulu ayam menggunakan cara pemanasan, perendaman dalam larutan NaOH dan Na2S selama 6 jam pada 600C serta fermentasi menghasilkan tepung bulu dengan daya larut dalam pepsin lebih baik dibanding tanpa pengolahan.  Kata kunci: hidrolisis, tepung-bulu, Bacillus sp. MTS, kelarutan